SELAMAT DATANG di Blog KUA Kecamatan Minggir. Media Informasi seputar Kementerian Agama dan Layanan KUA

KUA dan Haji Harus Bersih dari Gratifikasi



Jakarta [ItjenNews] – “Kantor Urusan Agama (KUA) dan Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) harus benar-benar bersih dari gratifikasi. Sebagai satuan kerja yang langsung bersentuhan dengan masyarakat mereka harus mempunyai Standar Operasional Prosedur yang jelas, mempunyai rumusan standar pelayanan minimal dan mengacu pada standar pelayanan prima.” tegas Inspektur Jenderal M. Jasin dalam Rapat Gelar Hasil Pemeriksaan Khusus/Kasus Tahap II di ruang Inspektorat Investigasi (Senin, 02/03/2015).

www.kemenag.go.id


Di tahun 2014 capaian kinerja Kementerian Agama menurut mantan jajaran pimpinan KPK ini masih berkisar pada skor 54,83 capaiannya masih rendah. Sehingga di tahun 2015 Itjen akan melakukan evaluasi kinerja kepada 118 satuan kerja (satker) sebagai piloting project. Hal itu dimaksudkan agar outcome kinerja Kementerian Agama dalam pembangunan keagamaan, pendidikan, dan pelayanan masyarakat dapat dirasakan keberadaannya.

“Kementerian Agama dengan jumlah pegawai sekitar 240 ribuan dan menghabiskan anggaran setiap tahunnya sekitar 60 triliyun belum signifikan dalam membangun icon bersih dan melayani kepentingan masyarakat secara prima termasuk dalam peningkatan mutu pendidikan.” papar M. Jasin pula.

Untuk mendorong agar satker di bawah lingkup Kementerian Agama tidak gemuk struktur, Irjen M. Jasin merekomendasikan agar Madrasah Ibdtidaiyah (MI) tidak lagi menjadi satker. Hal itu untuk efektifitas struktur dan meminimalisir ketidaktertiban administrasi satker karena tidak terlalu banyak lagi. Sehingga Itjen diharapkan menjadi agent of change dalam pembangunan mindset dan kinerja Kementerian Agama secara khusus dan pembangunan masyarakat secara umum.


Sumber: http://itjen.kemenag.go.id

Related Posts:

Ini Dia Putusan MK atas Uji Materi UU Perkawinan



Jakarta, bimasislam—Mahkamah Konstitusi RI yang berwenang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir menolak seluruh permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu mengenai aturan keabsahan perkawinan menurut agama. 

www.fimadani.com


Para pemohon Pengujian UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945, yaitu tiga orang konsultan hukum (Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda,  Luthfi Sahputra) dan seorang mahasiswa (Anbar Jayadi) mengajukan uji materi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Ketentuan dimaksud dianggap oleh mereka melanggar hak konstitusionalnya untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan dalam Sidang Pleno MK pada hari Kamis, 18 Juni 2015, memutuskan: ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama,tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.

Dengan demikian, MK menolak perkawinan beda agama yang minta diakui secara sah oleh negara.

Mengutip salinan resmi putusan Mahkamah Konstitusi: perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak  bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan. Perkawinan menurut UU No 1 Tahun 1974 diartikan sebagai hubungan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status mereka sebagai suami istri. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama atau kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan.

Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir tersebut merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat, sedangkan sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Bahwa ikatan lahir dan batin dalam sebuah perkawinan juga merupakan bentuk pernyataan secara tegas bahwa seorang pria dan seorang wanita ingin membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Permohonan pemohon yang mendalilkan hak untuk menjalankan agama dan hak atas kebebasan beragama, terlanggar dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) UU 1 No Tahun 1974 karena pasal a quo memberikan legitimasi kepada negara untuk mencampuradukkan perihal administrasi dan pelaksanaan ajaran agama,  ditolak oleh MK.

Menurut MK, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan  Pancasila dan UUD 1945, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan. Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa serta turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia. Negara juga berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan. Secara khusus, negara berperan untuk memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia. Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara.

Masih terkait dengan Undang-Undang Perkawinan, MK membacakan putusan atas pengujian konstitusional oleh sejumlah lembaga mengenai batasan usia minimal 16 tahun bagi perempuan untuk menikah dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974. Dalam amar putusan perkara No 30-74/PUU-XII/2014 hakim konstitusi menyatakan permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum, sehingga menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.

MK menilai bahwa kebutuhan untuk menentukan batasan usia perkawinan khususnya untuk perempuan adalah relatif menyesuaikan dengan perkembangan beragam aspek, baik itu aspek kesehatan hingga aspek sosial-ekonomi. Bahkan, tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya.


Sumber : http://bimasislam.kemenag.go.id

Related Posts:

Pemerintah Akan Bentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal



Jakarta (Pinmas) —- Pemerintah akan membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai badan sertifikasi, sesuai amanat UU Nomor 30/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Hal ini disampaikan oleh  Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Machasin di Jakarta, Selasa (13/1).

“BPJPH efektif setelah tiga tahun undang-undang ditetapkan,” kata Machasin pada Tasyakur Milad ke-26 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).



Machasin mengatakan, UU JPH disahkan DPR RI pada September 2014 lalu, kemudian ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan Oktober tahun yang sama. Dalam UU yang terdiri atas 68 pasal itu ditegaskan, bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk itu, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH.

Menurut Machasin, ketetapan halal suatu produk tetap pada wewenang MUI. “Masyarakat bisa saja membuat LPH (Lembaga Pemeriksa Halal), tapi LPPOM MUI sudah pengalaman 26 tahun, lebih baik kerjasama dengan LPPOM MUI,” kata Machasin.

Menurut Guru Besar UIN Sunan Kalijaga ini, keberadaan LPPOM MUI sudah memberi banyak manfaat, kerjasama dengan Pemerintah atau Kementerian Agama juga terjalin baik. “LPPOM MUI masih efektif sampai tahun 2017,” ujarnya.

Sementara Ketua Umum MUI Din Syamsuddin mengatakan, keberadaan LPPOM MUI selama 26 tahun merupakan tuntutan sejarah. “Ada kerjasama dengan Pemerintah, seyogyanya MUI yang diberi kewenangan, karena wilayah keagamaan ada di MUI,” ujar Din.

Din mengatakan, sampai sekarang, LPPOM MUI sudah mengeluarkan 124 ribu sertifikat halal. “Dari 124 ribu itu masih di bawah 50 persen produk yang beredar di Indonesia,” ujarnya. (ks/mkd/mkd)

www.kemenag.go.id


Related Posts:

Pelunasan BPIH Khusus Tahap ke-5 Dimulai 29 Juni



Jakarta (Sinhat)--Pada penutupan pelunasan tahap ke-4 Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Khusus Mei lalu, Jumat (15/05) menyisakan sebanyak 7 kuota. Sisa kuota tersebut akan dilanjutkan dengan perpanjangan waktu pelunasan pada tahap ke-5. Sisa kuota tersebut bertambah menjadi 466 disebabkan sebanyak 459 jemaah haji khusus yang telah melunasi pada tahap ke-1 sd tahap ke-4 membatalkan atau menunda keberangkatannya.

www.muslimah.or.id


Terkait tentang ini, Kasubdit Pendaftaran Haji Direktorat Pelayanan Haji Dalam Negeri Ditjen PHU Nur Aliya Fitra menyampaikan mekanisme pelunasan BPIH Khusus tahap ke-5 sesuai dengan SK Dirjen PHU Nomor D/272/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelunasan BPIH Khusus Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1436H/2015M. Klik SK Dirjen PHU Nomor 272 Tahun 2015.

“Sisa kuota diperuntukkan dengan kriteria: Pertama, penyelesaian batal/menunda pelunasan haji khusus yang berlangsung pada tahap sebelumnya. Kedua, penggabungan suami/istri terpisah, jemaah yang sudah terdaftar paling lambat 31 Desember 2013. Ketiga, penggabungan anak/orang tua terpisah, jemaah yang sudah terdaftar paling lambat 31 Desember 2013. Keempat, nomor porsi berikutnya dalam urutan database Siskohat,” terang Nur Aliya Fitra saat memberikan keterangan tentang mekanisme pelunasan tahap ke-5 di Gedung Siskohat Lantai 1 Kementerian Agama Pusat Jakarta, Jumat (26/06). Klik Berhak Lunas BPIH Khusus Tahap 5.

Lanjut Nur Aliya lagi, pelunasan BPIH khusus tahap ke-5 ini akan dilaksanakan pada tanggal 29 Juni - 3 Juli 2015.

Sebagaimana tahun lalu kuota jamaah haji Indonesia tahun ini berjumlah 168.000 karena masih mengalami pemotongan sebanyak 20%. Dari jumlah itu, kuota haji khusus sebanyak 13.600 dan dialokasikan untuk jemaah haji khusus sebanyak 12.831 orang dan petugas PIHK sebanyak 769 orang.

Berbeda dengan jamaah haji reguler yang BPIH nya ditetapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden, biaya jamaah haji khusus berbeda-beda, tergantung paket yang ditawarkan Penyeleggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang memiliki izin dari Kemenag sebagai penyelenggara. Namun demikian, Kemenag melalui Keputusan Menteri Agama menetapkan bahwa BPIH bagi jamaah haji khusus paling sedikit USD 8.000,00 (delapan ribu Dollar Amerika).

“Keterangan lebih lanjut atas pelunasan BPIH Khusus tahap ke-5 ini dapat menghubungi Subdit Pendaftaran Haji Direktorat Pelayanan Haji Dalam Negeri Ditjen PHU Telp. (021) 34833924,” terang Nur Aliya Fitra. (ar/ar)



Related Posts:

Peran KUA & BP4 Perlu Ditingkatkan Untuk Tekan Angka Gugat Cerai



Jakarta (Pinmas) — Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Muharram Marzuki mengatakan pentingnya peningkatan peran KUA dan BP4 dalam memberikan nasihat perkawinan untuk menekan angka gugat cerai. Hal ini menjadi salah satu rekomendasi dari seminar atas hasil penelitian tentang Trend Cerai Gugat Di Kalangan Masyarakat Muslim yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu (17/06).

www.fimadani.com


Menurut Muharram, salah satu rekomendasi seminar Penelitian Trend Cerai Gugat Di Kalangan Masyarakat Muslim adalah pentingnya meningkatkan peran Kementerian Agama melalui Ditjen Bimas Islam (KUA), BP4, tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk memberikan nasihat-nasihat perkawinan dan pelayanan kursus calon pengantin.

Dikatakan Muharram bahwa saat ini, Kementerian Agama bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Mahkamah Agung sedang mencari jalan keluar untuk mengurangi angka gugat cerai di Indonesia. Menurutnya, berdasarkan data yang ada di Mahkamah Agung dan data dari Kantor Urusan Agama (KUA) yang terdapat di Kankemenag Kabupaten/Kota, rata – rata angka gugat cerai ini mengalami kenaikan di setiap provinsi. 

“Dari penelitian Balitbang-Diklat melalui Puslitbang Kehidupan Keagamaan, tren angka gugat cerai ini meningkat.  Faktor ekonomi ternyata bukan satu-satunya penyebab. Di antara persoalan yang paling utama adalah tidak adanya keharmonisasian antara suami dan istri,” terang Muharram Marzuki saat ditemui pada Seminar Laporan Penelitian tentang Tren Cerai gugat di Kalangan Muslim Indonesia, Jakarta, Rabu (17/06). 

Menurutnya, temuan penelitan menyebutkan bahwa ketidakharmonisan itu banyak penyebabnya, antara lain: kasus KDRT dan penelantaran suami terhadap istri. Apalagi kalau ada perlakuan kasar terhadap istri, bagaimana dia mau bertahan hidup berkeluarga lebih panjang, akhirnya mereka melakukan gugat cerai terhadap suaminya. “Hal inilah kebanyakan yang terjadi tidak adanya harmonis itu,” kata Muharram.

Sehubungan itu, Muharram memandang perlunya pengembangan program keluarga sakinah di mana orang yang mau menjadi pengantin bisa mempunyai idola keluarga yang sukses, baik dari sisi ekonomi, sisi anak-anak yang sukses studi, serta hubungan antar tetangga yang baik. “Hal ini perlu ditumbuhkembangkan kepada para calon pengantin,” ucap Muharram Marzuki.

“Sukses story keluarga sakinah, baik yang sudah tua maupun para keluarga yang muda-muda ini, bisa ditularkan kepada para calon pengantin dengan harapan akan mengurangi angka gugat cerai,” tambahnya.


Muharram berharap temuan hasil penelitian ini nantinya tidak hanya menjadi dokumen yang dibukukan saja. Lebih dari itu, bisa dijadikan dasar pengambilan kebijakan dan ditindaklanjuti. (ba/mkd)

www.kemenag.go.id

Related Posts: