SELAMAT DATANG di Blog KUA Kecamatan Minggir. Media Informasi seputar Kementerian Agama dan Layanan KUA

Ini Dia Putusan MK atas Uji Materi UU Perkawinan



Jakarta, bimasislam—Mahkamah Konstitusi RI yang berwenang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir menolak seluruh permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu mengenai aturan keabsahan perkawinan menurut agama. 

www.fimadani.com


Para pemohon Pengujian UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945, yaitu tiga orang konsultan hukum (Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda,  Luthfi Sahputra) dan seorang mahasiswa (Anbar Jayadi) mengajukan uji materi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Ketentuan dimaksud dianggap oleh mereka melanggar hak konstitusionalnya untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan dalam Sidang Pleno MK pada hari Kamis, 18 Juni 2015, memutuskan: ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama,tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.

Dengan demikian, MK menolak perkawinan beda agama yang minta diakui secara sah oleh negara.

Mengutip salinan resmi putusan Mahkamah Konstitusi: perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak  bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan. Perkawinan menurut UU No 1 Tahun 1974 diartikan sebagai hubungan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status mereka sebagai suami istri. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama atau kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan.

Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir tersebut merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat, sedangkan sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Bahwa ikatan lahir dan batin dalam sebuah perkawinan juga merupakan bentuk pernyataan secara tegas bahwa seorang pria dan seorang wanita ingin membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Permohonan pemohon yang mendalilkan hak untuk menjalankan agama dan hak atas kebebasan beragama, terlanggar dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) UU 1 No Tahun 1974 karena pasal a quo memberikan legitimasi kepada negara untuk mencampuradukkan perihal administrasi dan pelaksanaan ajaran agama,  ditolak oleh MK.

Menurut MK, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan  Pancasila dan UUD 1945, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan. Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa serta turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia. Negara juga berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan. Secara khusus, negara berperan untuk memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia. Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara.

Masih terkait dengan Undang-Undang Perkawinan, MK membacakan putusan atas pengujian konstitusional oleh sejumlah lembaga mengenai batasan usia minimal 16 tahun bagi perempuan untuk menikah dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974. Dalam amar putusan perkara No 30-74/PUU-XII/2014 hakim konstitusi menyatakan permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum, sehingga menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.

MK menilai bahwa kebutuhan untuk menentukan batasan usia perkawinan khususnya untuk perempuan adalah relatif menyesuaikan dengan perkembangan beragam aspek, baik itu aspek kesehatan hingga aspek sosial-ekonomi. Bahkan, tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya.


Sumber : http://bimasislam.kemenag.go.id

Related Posts:

0 Response to "Ini Dia Putusan MK atas Uji Materi UU Perkawinan"

Post a Comment